Jalan Raya Adalah Simbol Kebudayaan

oleh
Bagikan artikel ini

Bukittinggi. KOMPAS86.ID– Jika pembaca pembaca berminat berwisata ke Sumatra barat, maka ketahuilah bahwa warga Sumatra barat konon dulunya sangat bangga dengan kondisi jalan raya yang dimilikinya di kawasan ini. Kondisi jalan terbaik jika dibandingkan dengan provinsi tetangga. Jangankan jalan berlubang yang sulit ditemukan, bahkan aspal tambal sulampun nyaris tidak terdapat di jalan2 yang diampu oleh pemerintah provinsi. Rabu (10/7/2024)

Jika menggunakan kendaraan bermotor dari luar daerah, ketika memasuki provinsi ini, seakan anda akan memasuki sebuah peradaban baru yang jalan-jalannya apik dan terawat baik. Sehingga pengunjung merasa nyaman menikmati pesona alam dan kuliner khas Minangkabau.

Penulis teringat sebuah periode dalam sejarah peradaban manusia pada zaman Romawi kuno. Mengapa Romawi sukses menguasai sepertiga dunia kuno pada zaman itu. Selain dari aspek kedigdayaan dan efisiensi militernya, kemajuan pengetahuan yang diadopsi dari filsafat Yunani juga memgemban peran yang tidak sedikit. Namun ada satu hal remeh yang ternyata membawa Romawi ke puncak zaman keemasannya, yakni infrastruktur jalan raya yang menghubungkan ibukota dengan seluruh pelosok negri taklukannya.

Demikian pula dengan kehadiran jalan raya pos di Utara Jawa, sebagai hasil penghisapan tenaga buruh pribumi oleh pemerintah kolonial dibawah gubernur jenderal Wilhelm Daendels.

Jalan raya pos atau disebut juga jalan Daendels yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan di Jawa timur menghasilkan efek ganda terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Jawa hingga ke pedalaman. Akses pengangkutan barang-barang ekspor menjadi kian mudah hingga memperkaya negara induk di Belanda. Keberadaan jalan raya pos justru menghasilkan sentra ekonomi baru di pantai Utara Jawa hingga redup dengan keberadaan jalan tol trans Jawa.

Hal yang sama juga berlaku di Sumatra barat. Pasca perang Padri, kebutuhan jalan sebagai akses tranportasi barang dan jasa meningkat seiring dengan terciptanya stabilitas keamanan kawasan.

Pembangunan jalan untuk kepentingan transportasi komoditas ekspor seperti kopi, tebu, kayu manis dan tentunya batu bara, yang diangkut dari pedalaman Sumatra barat ke pelabuhan Emma Haven (kini disebut pelabuhan teluk Bayur) membuat gemuk pundi2 kas keuangan negara induk.

Tak lagi perlu penulis menguraikan berapa pentingnya jalan bagi urat nadi perekonomian rakyat. Kami melihat jalan bukan lagi dalam perspektif sumir.

jalan raya secara eksistensial, adalah sebuah produk peradaban. Pertanyaan yang menggelitik di fikiran kami, sejauh mana pemerintah daerah Sumatra barat berhasil membangun jalan? Pertumbuhan jalan baru sama rendahnya dengan pertumbuhan ekonomi Sumbar yang hanya menyentuh empat koma.

Pemerintah kolonial berhasil membangun jalan sebagai sarana peradaban, namun rezim yang berkuasa di Sumatra barat justru gagal memelihara sarana jalan. Jangankan membangun baru, memelihara yang ada saja gagal. Akibatnya fatal, bukan saja sektor ekonomi yang dirugikan, namun kebanggaan orang Sumatra baratpun lumpuh pada akhirnya.

Tidak ada satupun orang yang menginginkan terjadinya bencana. Dapat dikatakan jalan rusak adalah bencana kebudayaan yang dibuat oleh pemerintah yang tidak berpihak pada peradaban orang Sumatra barat.

Akhirnya penulis tidak dapat mendalami betapa dalam malunya seorang penguasa yang digugat oleh rakyatnya karena merasa dirugikan hanya karena jalan yang berlubang. Gugatan yang jauh dari kata heroik melainkan remeh. Bayangkan jika gugatan penggugat sampai dikabulkan oleh sang pengadil. Bukan lagi persoalan berapa kerugian yang harus dibayar namun betapa malunya pejabat pengemban amanah yang tidak mampu menjaga produk budaya ini.

Bayangkan saja pemerintah kolonial yang terdiri dari orang-orang asing yang datang menjajah saja bisa membangun jalan sebagai sarana peradaban, gubernur Sumatra barat yang pribumi justru malah lemah dalam membangun sarana kebudayaan seperti jalan raya. Ataukah malu itu sudah pudar?

Ivans haykel Terserah apa mau diisi.
(*)