Bangka Belitung, Kompas86.id
Oleh : Ryan Augusta Prakasa, S.Sos.,C.IJ.,C.CMP (Pemilik Jejaring Media/RMN)
KRITIK terhadap tindakan yang dilakukan seseorang di media sosial, apalagi pejabat publik tak dipungkiri selalu menjadi isu menarik yang memancing berbagai reaksi. Namun, yang lebih penting adalah memahami konteks dan substansi kritik tersebut dengan benar, agar tidak terjebak pada asumsi pribadi yang berujung pada penilaian yang salah yang mengungkap ketidaksukaan atau kebencian terhadap seseorang.
Arkitel opini terbaru mengenai Komisioner Komisi Informasi Daerah (KID) Bangka Belitung, Rikky Fermana memposting flayer pasangan calon (paslon) di akun Facebook pribadinya, namun tak disangka menjadi sorotan publik dan bahkan seolah-olah memicu opini yang dipenuhi oleh ketidakpahaman alias ‘Gagal Faham’ oleh sebagian pihak.
Dalam tulisan ini, kita akan coba membedah secara objektif, apakah benar tindakan Rikky Fermana melanggar etika atau hanya asumsi dangkal dari penulis opini tersebut. Penulis opini di atas tampaknya mengalami kesulitan membedakan antara tindakan pribadi dan tindakan yang membawa lembaga.
Dalam kasus ini, Rikky Fermana secara jelas menggunakan akun pribadinya, bukan akun resmi Komisi Informasi, untuk memposting flayer paslon. Hal ini merupakan bentuk ekspresi pribadi yang tidak terkait dengan posisinya sebagai Komisioner KID Babel. Jika kita memahami UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi memiliki peran sebagai badan yang pasif dalam menyelesaikan sengketa informasi publik, bukan sebagai lembaga pengatur atau pengampanye paslon tertentu.
Oleh karena itu, tuduhan bahwa Rikky Fermana telah melanggar tupoksi lembaga sama sekali tidak berdasar dan hanya didasarkan pada asumsi penulis yang terkesan dangkal.
Mari kita tinjau lebih jauh argumen penulis opini. Mereka menyatakan bahwa karena Rikky Fermana adalah seorang komisioner, maka segala tindakannya di media sosial harus dianggap sebagai representasi dari lembaga.
Ini adalah kesimpulan yang terlalu simplistik. Dalam realitasnya, setiap individu yang memiliki peran dalam lembaga publik tetap memiliki hak sebagai warga negara untuk berekspresi, selama ekspresi tersebut tidak melanggar undang-undang atau etika profesional yang ketat.
Dalam hal ini, postingan Rikky Fermana di akun pribadinya sama sekali tidak menyalahi aturan, karena tidak ada elemen kampanye hitam, fitnah, atau penghinaan terhadap paslon lain. Ini hanyalah sebuah flayer yang menginformasikan pendaftaran calon kepala daerah – sebuah informasi terbuka yang bisa diakses oleh siapa pun.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: siapa yang sebenarnya dirugikan oleh postingan tersebut? Jika kita kembali ke substansi flayer, tidak ada individu atau kelompok yang diserang secara langsung dalam postingan itu.
Tidak ada pihak yang dituding, difitnah, atau dijatuhkan melalui konten tersebut. Dengan demikian, klaim bahwa postingan itu melanggar etika atau tupoksi Komisi Informasi Babel tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Sebaliknya jika penulis opini merasa dirugikan secara pribadi terkait postingan tersebut, bukankah lebih baik membawa masalah ini ke lembaga yang berwenang seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), alih-alih mengungkapkan dugaan dan kecurigaan yang tidak berdasar?
Dalam tulisan yang dipenuhi dengan asumsi ini, penulis juga tampak menggiring opini seolah-olah publik telah sepakat bahwa tindakan Rikky Fermana adalah pelanggaran. Ini adalah trik umum yang sering digunakan oleh penulis opini yang tidak berkelas – menggeneralisasi pendapat pribadi dan menyamarkannya sebagai pendapat publik.
Padahal, jika kita melihat respons dari masyarakat secara lebih luas, tidak ada tanda-tanda bahwa publik secara umum merasa dirugikan oleh postingan tersebut. Sebaliknya, publik cenderung melihat ini sebagai bagian dari dinamika politik lokal yang wajar dan tidak menimbulkan kerugian bagi siapa pun.
Seharusnya, penulis opini memahami bahwa peran seorang komisioner tidak otomatis membuatnya kehilangan hak untuk berekspresi sebagai individu. Justru, penting untuk menekankan bahwa individu yang berada di posisi publik harus tetap diizinkan untuk menyampaikan pandangan pribadinya, selama hal tersebut tidak melanggar hukum atau menciptakan konflik kepentingan yang nyata.
Dalam kasus ini, postingan Rikky Fermana tidak membawa lembaga, melainkan adalah bentuk dari ekspresi pribadi yang seharusnya dilindungi oleh hukum.
Penulis opini tampaknya juga melewatkan satu aspek penting dari perdebatan ini: kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28.
Jika postingan flayer tersebut dianggap sebagai ajakan pribadi dan tidak menggunakan sarana lembaga publik, maka tidak ada alasan untuk melarangnya. Komisioner Komisi Informasi bukanlah seorang pegawai negeri sipil biasa yang terikat pada larangan berkampanye secara ketat, dan selama postingan tersebut tidak menciptakan konflik kepentingan dengan posisinya, maka tidak ada masalah etis atau legal di sini.
Kesimpulannya, tulisan opini di atas lebih mencerminkan kedangkalan analisis dan ketidaksukaan atau pesanan pimprednya, daripada memberikan pandangan yang berkelas dan argumentatif.
Penulis tampaknya gagal memahami perbedaan antara tindakan pribadi dan tindakan lembaga, serta cenderung menggiring opini dengan asumsi-asumsi yang tidak didukung oleh fakta yang kuat. Jika penulis merasa dirugikan, ada jalur resmi yang bisa ditempuh, seperti melapor kepada Bawaslu atau lembaga berwenang lainnya.
Tidak perlu mengungkapkan kedunguan dan kedengkian dalam sebuah opini yang justru mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap topik yang dibahas.
Dalam demokrasi, kita seharusnya mendukung kebebasan berekspresi selama tidak melanggar hukum. Tuduhan tanpa dasar hanya akan menurunkan kredibilitas seorang penulis dan mencerminkan sikap yang jauh dari profesionalisme dan tanggung jawab. (*)