Begal Politik dan Kotak Kosong: Mempertahankan Demokrasi di Tengah Ancaman Calon Tunggal

oleh
Bagikan artikel ini

Bangka Belitung, Kompas86.id

Oleh : Zamhari SE MM

Pilwako Pangkalpinang tahun ini menghadirkan situasi politik yang cukup kontroversial dengan munculnya calon tunggal yang menghadapi kotak kosong (KOKO). Bagi sebagian pihak, seperti Rektor Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung (Umuh Babel), keberadaan KOKO bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan, melainkan menjadi bagian sah dari proses demokrasi yang kita anut.

 

 

Namun, hal ini justru menuai kritik dari pihak lain, seperti yang disuarakan oleh Efendi Harun, yang menyatakan bahwa KOKO tidak layak menjadi peserta Pilwako karena bukan “manusia.”

 

Polemik ini menggambarkan ketegangan yang muncul di tengah masyarakat dalam menyikapi fenomena kotak kosong di pilkada.

 

 

Sebagai salah satu pembicara dalam diskusi publik yang berlangsung di Monumen Kerito Surong pada Sabtu malam lalu, saya merasa perlu merespon kritik yang dilontarkan oleh Efendi Harun.

 

 

Menurut saya, pendapat beliau terkesan tendensius terhadap pernyataan Rektor Umuh Babel yang justru memberikan pandangan yang objektif terkait legitimasi KOKO dalam kontestasi Pilwako.

 

 

Hak Demokratis dan Legitimasi Kotak Kosong

 

Sebagai seorang akademisi, rektor Umuh Babel tentu memiliki hak untuk memberikan pandangannya, terutama dalam isu-isu politik yang berdampak luas pada masyarakat. Di sisi lain, pandangan yang menyatakan bahwa KOKO bukanlah peserta pilkada karena bukan manusia adalah sebuah kesalahpahaman mendasar.

 

 

Keikutsertaan KOKO dalam pilkada, meski bukan berwujud individu, tetap diakui secara hukum. Bahkan, jika KOKO menang, akan ada pemilihan ulang. Ini menunjukkan bahwa pemerintah mengakui keberadaan KOKO sebagai peserta yang sah.

 

 

Jika KOKO dianggap tidak sah, maka pemilihan ulang tidak perlu diadakan, dan calon tunggal otomatis dinyatakan sebagai pemenang.

 

Dalam konteks ini, kita perlu mengingat sejarah perjuangan Bangka Belitung yang berupaya memisahkan diri dari Sumatera Selatan.

 

Perjuangan itu tidak hanya untuk meraih status sebagai provinsi, tetapi juga untuk memastikan bahwa demokrasi berjalan dengan sehat di daerah kita.

 

 

Sayangnya, beberapa pihak, termasuk mereka yang mengaku sebagai bagian dari presidium, tampaknya mulai melupakan semangat itu. Ada indikasi bahwa mereka justru ingin menggugat KOKO jika menang, sebuah langkah yang jelas-jelas merongrong prinsip demokrasi.

 

 

Demokrasi yang Sehat: Cek dan Keseimbangan

 

Demokrasi yang sehat mengharuskan adanya mekanisme check and balances, terutama di tingkat legislatif. Jika semua partai politik di dewan telah mendukung satu calon tunggal, ini menandakan bahwa demokrasi kita berada dalam bahaya. Fenomena “begal politik,” di mana kekuatan politik memonopoli ruang demokrasi dan menghilangkan ruang bagi calon alternatif, semakin nyata.

 

 

Calon tunggal sering kali diasosiasikan dengan kepentingan oligarki yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk menggunakan uang sebagai senjata utama (Money is Power).

 

Dalam konteks ini, protes terhadap calon tunggal bukanlah sekadar soal kekalahan atau kemenangan. Melainkan, ini adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi politik yang membungkam suara rakyat.

 

 

Menang atau kalah di Pilwako nanti bukanlah hal yang esensial bagi kami yang mendukung KOKO. Yang terpenting adalah marwah dan harga diri sebagai warga Pangkalpinang yang tidak ingin kembali ke masa sebelum Bangka Belitung menjadi provinsi.

 

 

Calon Tunggal: Arogansi dan Kekhawatiran

 

Fenomena calon tunggal juga mencerminkan arogansi calon tersebut dalam memanfaatkan seluruh partai politik untuk mendukungnya. Langkah ini menunjukkan bahwa calon tunggal tidak percaya diri untuk bersaing secara sehat dengan kandidat lain.

 

 

Ini adalah bentuk ketidakadilan bagi demokrasi, di mana seharusnya rakyat diberi kesempatan untuk memilih lebih dari satu kandidat.

 

Calon tunggal menginginkan kontrol penuh atas jalannya pilkada. Ini terlihat dari berbagai cara yang mereka tempuh, termasuk menekan partai politik untuk tidak mendukung calon lain.

 

 

Mereka seakan lupa bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang bersedia berkompetisi secara adil, bukan yang memanipulasi sistem demi kepentingan pribadi. Keberadaan KOKO, meskipun hanya kotak kosong, memberikan rakyat alternatif untuk menolak calon tunggal tersebut.

 

 

Kesimpulan: Kotak Kosong sebagai Simbol Perlawanan

 

Bagi kami, kemenangan KOKO bukanlah sekadar kemenangan dalam sebuah pemilihan, melainkan kemenangan dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya.

 

 

KOKO menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi politik yang merusak esensi dari demokrasi itu sendiri.

 

 

Kami tidak ingin Pangkalpinang kembali ke masa kelam ketika keputusan politik diambil oleh segelintir elit tanpa memperhitungkan kepentingan rakyat banyak.

 

Dalam demokrasi, setiap suara penting. Termasuk suara yang mendukung KOKO, yang merupakan cerminan dari ketidakpuasan rakyat terhadap praktik-praktik politik yang tidak sehat.

 

 

Jika demokrasi kita ingin tetap hidup dan berkembang, kita harus memberi ruang bagi setiap pilihan, termasuk pilihan untuk menolak calon tunggal yang arogan dan penuh dengan intrik politik. (*)

 

 

(Penulis : Zamhari SE MM, Dosen STIE IBEK Bangka Belitung, Mantan Anggota DPRD Kabupaten Bangka Tengah)