Batam,kompas86.id – Persoalan relokasi Relang Kota Batam relokasi sampai saat ini masih mengalami hambatan akibat sikap masyarakat adat menolak relokasi,hal ini terjadi akibat pemerintah mengedepankan kekuasaan dari hukum.
Menurut Ismail Ratusimbangan Ketum Aliansi LSM ORMAS Peduli Kepri, terjadi polemik di relang di sebabkan pemerintah salah dalam melakukan proses penanganannya, selama ini lebih menonjolkan kekuasaan dari pada konstitusi yang ada, sehingga membuat masyarakat Indonesia bersimpati terhadap masyarakat Relang, yang merasa tertekan.
Sebab BP Batam selama ini tidak melakukan tanggung jawabnya sedari awal, sehingga untuk seterusnya akan menjadi masalah.
Lebih lanjut Ismail menjelaskan, seharusnya Bp Batam yang lahirnya awal dari Keputusan presiden tahun 1971, inilah sebagai acuan dalam pembebasan lahan di kota Batam, begitu juga untuk lahan di Relang, sehingga tidak merugikan pihak manapun juga.
Sebagai contoh dalam pembebasan lahan, seharusnya Bp Batam inventarisasi lahan tersebut, sehingga dapat melakukan langkah, seperti masyarakat adat yang tinggal memiliki legalitas, surat grand, girik dan alas hak dan dibedakan dengan masyarakat yang memiliki surat tebas atau penggarap,ini tidak bisa di samakan.
Masyarakat adat yang memiliki surat grand, girik dan alas hak,hak mereka bukan sekedar menerima kavling atau rumah, rumah atau Kavling itu pengganti rumah mereka sebelumnya.
Untuk tanah,tanam tumbuh serta yang lainnya, harus di bayar ganti rugi sesuai dengan tabel harga saat ini, bukan hanya diganti rumah,itu sebetulnya yang di lakukan oleh otorita Batam dahulu dalam pembebasan lahan di kota Batam, acuan nya Kepres tahun 1971, bukan seperti sekarang ini asal pukul rata, itupun belum tentu masyarakat menerima.
Kemudian untuk masyarakat penggarap atau surat tebas, seharusnya mereka mendapatkan uang sagu hati, bukan seperti saat ini di panggil oleh polisi harus menyerahkan tanah garapannya, jika dengan alasan hutan lindung kenapa para penggarap hutan lindung di kota Batam, dibiarkan saja tidak di tangkap ungkapnya.
Disini membuat masyarakat menjadi tidak simpatik,kok hukum dijadikan alat kepentingan pemerintah membenturkan masyarakat dengan aparat penegak hukum, hanya untuk kepentingan pengusaha, yang jelas negara belum mendapatkan uang dari proyek tersebut, karena WTO pun belum dibayar.
Jika kedepan pemerintah masih mengedepankan kekuasaan dari hukum ini akan menjadi polemik berkepanjangan, apalagi mereka yang pindah saat ini, adalah orang yang hanya memiliki rumah, tetapi tidak memiliki tanah, tentu bagi mereka tawaran tersebut menguntungkan, tetapi harus di ingat masalah sesungguhnya masyarakat adat yang memiliki legalitas surat seperti grand, girik dan alas hak tetap bertahan maka akan sia -sia saja karena akar masalahnya tidak tersentuh tutupnya.(D2k)