BPN Manggarai Barat Diduga Bersekongkol dengan Mafia Tanah, Kasus Sengketa Warisan Ibrahim Hanta Makin Memanas

oleh
Tanah seluas 11 hektar yang berlokasi di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT yang diduga telah bersertifikat oleh para mafia tanah. (Foto/Isth)
Bagikan artikel ini

 

Situasi saat sidang PS di lokasi sengketa pada 15 Mei 2024 oleh Pengadilan Negeri. Pihak BPN Manggarai Barat tidak bawa warkah asli penyerahan ulayat 2 Mei 1990. (Foto/Isth)

LABUAN BAJO, Kompas86.id- Sengketa tanah seluas 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, yang melibatkan Suwandi Ibrahim, kini memasuki fase krusial dengan munculnya dugaan keterlibatan mafia tanah.

Kasus ini semakin rumit setelah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat diduga menerbitkan dua Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Paulus G. Naput dan Maria F. Naput pada tahun 2017 tanpa dasar bukti dokumen yang sah.

Saat ini, titik terang mulai terlihat dalam sengketa ini. BPN Manggarai Barat dan pihak tergugat belum mampu menunjukkan dokumen asli berupa Warkah atau bukti penyerahan tanah adat dari Ulayat yang diperlukan sebagai dasar penerbitan sertifikat. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa proses penerbitan SHM tersebut tidak sesuai prosedur dan melibatkan praktik ilegal.

Demikian disampaikan Ni Made Widiastanti, SH, selaku Kuasa Hukum dari ahli waris Ibrahim Hanta. Ia menuturkan bahwa pada tanggal 8 Januari 2024, pihak penggugat melaporkan kasus ini ke Satgas mafia tanah Kejaksaan Negeri Labuan Bajo.

Menanggapi laporan tersebut, pada tanggal 16 Januari 2024, tim dari Kejaksaan Negeri Labuan Bajo yang dipimpin oleh Kasi Pidsus Bapak Wisnu Sanjaya, S.H., bersama tim BPN Manggarai Barat yang dipimpin oleh Kasi Sengketa Bapak Putu dan Bapak Jonas, turun ke lokasi untuk memeriksa tanah tersebut dan mencocokkan lokasi dengan Warkah atau bukti penyerahan tanah adat pada tanggal 2 Mei 1990.

“Dari hasil pemeriksaan tersebut, tim BPN dan tim Kejari sepakat bahwa kedua tanah atas nama Paulus G. Naput (pihak tergugat 1) dan Maria F. Naput (pihak tergugat 2) tersebut terbukti salah lokasi, salah ploting, atau salah penunjukan batas-batas. Lokasi sebenarnya berdasarkan peta warna merah seluas 16 Ha, bukan di peta warna hijau yang merupakan lokasi tanah milik penggugat seluas 11 Ha,” Jelas Widiastanti

Atas dasar itu, pihak penggugat menduga kuat bahwa kedua SHM yang terbit pada 31 Januari 2017 oleh BPN Manggarai Barat adalah hasil praktik mafia tanah, karena letak lokasi dua SHM tersebut tidak sesuai dengan bukti penyerahan tanah/Warkah/alas hak tanggal 2 Mei 1990 yang batas-batasnya jelas dan menjadi dasar penerbitan kedua SHM tersebut.

Sejak Januari 2024, BPN Manggarai Barat belum dapat menyediakan bukti Warkah asli atas penerbitan kedua sertifikat tersebut. Ketidakmampuan ini semakin memperkuat dugaan adanya permainan curang dalam penerbitan sertifikat tersebut. Situasi ini tidak hanya merugikan pihak Suwandi Ibrahim, tetapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap BPN Manggarai Barat.

Mencari Keadilan, Suwandi Ibrahim Melawan Mafia Tanah di Labuan Bajo

Suwandi Ibrahim selaku ahli waris dari alm. Ibrahim Hanta bersama keluarga besarnya terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Mereka berharap pengadilan ini menjadi saksi bisu perjuangan mereka melawan mafia tanah yang telah merampas hak milik keluarga mereka.

Diketahui berdasarkan keterangan dari Suwandi Ibrahim kepada media ini sebelumnya bahwa tanah yang menjadi sengketa ini adalah warisan dari Ibrahim Hanta, ayah Suwandi, yang telah dikuasai keluarga mereka sejak tahun 1973. Namun, pada tahun 2023, tiba-tiba muncul dua sertifikat yang diterbitkan BPN Manggarai Barat atas nama orang lain di atas tanah tersebut.

“Kami telah berjuang selama sembilan tahun terakhir, sejak 2015, melawan praktik mafia tanah yang merampas hak milik orang tua kami. Saya lahir di tanah itu pada tahun 1978, lima tahun setelah ayah saya mendapatkannya melalui penyerahan Ulayat Kedaluan Nggorang,” ungkap Suwandi.

Sebagai bukti, Suwandi menunjukkan hasil panen jagung terakhir mereka di tanah tersebut yang mencapai 58 ton, yang bahkan dijual untuk kebutuhan pangan lokal saat pelaksanaan Sail Komodo 2013.

Ia menjelaskan bahwa pada tahun 2015, mereka mengajukan pembuatan sertifikat tanah, namun bersamaan dengan itu, muncul pengajuan serupa dari Niko Naput.

“Saya terpaksa melakukan sanggahan ke BPN Mabar karena mereka lebih memprioritaskan pengajuan dari Niko Naput, padahal kami yang mengajukan lebih dulu. Pada tahun 2020, terbit SHM atas nama anak-anak dan menantu Niko Naput,” jelas Suwandi.

Surat kesepakatan yang digunakan untuk menerbitkan sertifikat tersebut dituding palsu oleh Suwandi, karena Ibrahim Hanta sudah meninggal pada tahun 1986, namun surat tersebut bertanggal 2019.

“Kami melaporkan surat tersebut ke Polda NTT sebagai pemalsuan dokumen, yang menyebabkan cacat materiil pada dua SHM yang terbit di atas tanah kami,” tambahnya.

Perjuangan Berlanjut di Tengah Sengketa

Pada 18 Februari 2023, keluarga Suwandi tetap melakukan aktivitas di lahan yang masih bersengketa. Mikael Mensen, anggota keluarga Suwandi, menjelaskan bahwa mereka sedang menggarap lahan seluas 11 hektar yang rusak karena hujan selama tiga tahun terakhir.

“Kami tidak akan pernah meninggalkan tanah ini. Ini adalah warisan nenek moyang kami,” tegas Mikael.

Mikael juga mengungkapkan bahwa beberapa waktu lalu, ada upaya penyerobotan lahan oleh oknum yang mengaku disuruh oleh gubernur dan bupati. “Saya cegat mereka dan minta dokumen yang mereka miliki untuk dicocokkan dengan dokumen kami,” jelasnya.

Groundbreaking Hotel di Atas Tanah Sengketa

Pada 22 April 2022, dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Hotel St. Regis di atas lahan sengketa ini oleh PT. Mahanaim Group, yang dihadiri oleh Gubernur NTT dan Bupati Manggarai Barat. Suwandi sudah memberitahukan status sengketa tanah tersebut kepada pihak terkait sebelum groundbreaking, namun pembangunan tetap dilanjutkan.

Suwandi telah menempuh dua jalur hukum untuk melawan praktik mafia tanah ini: laporan pidana ke Polres Mabar dan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo. Ini semua adalah bentuk perlawanan maksimal demi menegakkan kebenaran dan keadilan atas hak keperdataan.

Ni Made Widiastanti, SH, selaku Kuasa Hukum dari ahli waris Ibrahim Hanta, mengungkapkan bahwa persoalan yang sedang dihadapi sebenarnya cukup sederhana. Menurutnya, jika pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat dan tergugat dapat menunjukkan bukti Warkah asli, maka permasalahan ini bisa segera diselesaikan. Namun, hingga saat ini, kedua pihak tersebut belum mampu menunjukkan bukti tersebut, sehingga menimbulkan kecurigaan adanya kejanggalan dalam penerbitan dua sertifikat atas nama orang lain.

“Pihak BPN Manggarai Barat belum bisa menunjukkan bukti Warkah asli, sehingga saya menduga BPN Manggarai Barat terlibat permainan dengan para mafia tanah. Kami menduga BPN berselingkuh dengan mafia tanah. Apa susahnya sih? Sudah beberapa kali sidang, mereka tidak bisa menunjukkan bukti dokumen Warkah tersebut hingga bisa menjadi sertifikat,” ujar Widiastanti.

Ia menambahkan bahwa kedua SHM yang terbit pada 31 Januari 2017 oleh BPN Manggarai Barat adalah hasil praktik mafia tanah, karena letak lokasi dua SHM tersebut tidak sesuai dengan bukti penyerahan tanah/Warkah/alas hak tanggal 2 Mei 1990 yang batas-batasnya jelas dan menjadi dasar penerbitan kedua SHM tersebut.

Widiastanti juga mengingatkan BPN Manggarai Barat mengenai ketentuan Pasal 62 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa sertifikat dapat dibatalkan oleh BPN jika terbukti cacat administrasi. Dalam kasus lahan yang diklaim oleh pihak Niko Naput, diduga terdapat cacat administrasi.

“Kami meminta BPN untuk bertindak tegas dan segera membatalkan sertifikat yang cacat administrasi ini. Kasus ini sangat jelas mengandung unsur kecurangan dan harus segera diselesaikan demi keadilan,” tegas Widiastanti.

Kasus ini menjadi sorotan banyak pihak, termasuk masyarakat setempat dan pegiat anti-korupsi. Mereka mendesak agar BPN Manggarai Barat segera menyelesaikan persoalan ini secara transparan dan akuntabel. Jika terbukti ada unsur mafia tanah, pelaku harus segera ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Sengketa tanah di Labuan Bajo ini merupakan salah satu dari banyak kasus serupa yang menunjukkan betapa rentannya sistem pertanahan di Indonesia terhadap praktik korupsi dan mafia tanah. Kasus ini juga menekankan pentingnya reformasi agraria yang lebih mendalam dan pengawasan yang ketat terhadap proses penerbitan sertifikat tanah.

Dengan perhatian publik yang semakin meningkat, harapannya kasus ini dapat segera diselesaikan dengan adil dan menjadi pelajaran berharga untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Masyarakat berharap BPN Manggarai Barat dapat mengembalikan kepercayaan publik dengan bertindak tegas dan transparan dalam menuntaskan sengketa tanah ini.

Hingga berita ini diterbitkan Kepala BPN Manggarai Barat belum berhasil di konfirmasi dan media ini tetap berupaya untuk mendapatkan keterangan dari pihak BPN Manggarai Barat.  (Red)