Djamukertabudi: Ngatiyana dan Dikdik S. Nugrahawan Bagaikan “EL CLASICO” Menuju Pilkada Kota Cimahi 2024

oleh
Lambang Pemerintah Kota Cimahi
Bagikan artikel ini
Djamu Kertabudi Pengamat, Tokoh sekaligus Praktisi pemerintahan Jawa barat

Kompas86.id, Cimahi – Usai Pilpres kini ramai Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) baik Gubernur, Wali Kota dan Bupati di masing-masing wilayah / daerah di Indonesia.

Di kota cimahi propinsi jawa barat aura ‘Pilkada’ nampak sudah mulai terasa ditengah masyarakat. Sejumlah pengamat, tokoh dan masyarakat turut menyimak kehadiran ke Dua Tokoh tersebut.

Istilah “EL CLASICO” mulai dipopulerkan di dunia sepakbola saat dua kesebelasan besar sebagai rivalitas sejak lama berhadapan dalam suatu pertandingan yang memberi suasana cukup menegangkan.

Sistem pilkada serentak Nasional mulai digelar pada pilkada 2024 ini, dimana seluruh daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota dalam waktu bersamaan menyelenggarakan kontestasi pilkada 2024, dimana tahapan dan jadwal kegiatannya sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan KPU No. 2 Tahun 2024, yang mana waktu pemungutan suara sudah ditetapkan 27 Nopember 2024. Tinggal menunggu terbitnya satu peraturan KPU lagi tentang pencalonan Gubernur, Bupati dan Wali kota berserta pasangannya yang saat ini masih dalam proses finalisasi.

Baca juga: Musnahkan Jutaan Batang Rokok Ilegal, Pj Walikota, Satpol PP dan Bea Cukai Bandung Minta Masyarakat Tak Ragu Melaporkan u-melaporkan/

Gema pilkada di seluruh daerah sudah mulai terasa saat partai politik memulai membuka pendaftaran bakal calon Kepala Daerah. Disamping itu, berbagai manuver dan “political movement” Yang dilakukan berbagai pihak menambah iklim politik mulai menghangat. Yang lebih menarik, munculnya pengamat politik baru yang menghiasi rilis berita di media yang menunjukan ketidaknetralan dan cenderung nemihak. Sehingga hasil kajianya berdasarkan informasi yang terbatas, dan berdampak merugikan pihak lain. Dengan demikian, sulit membedakan antara pengamat politik dengan tim sukses dalam rangka membangun opini publik. Demikian halnya dinamika politik yang terjadi di Cimahi.

Dari sejak awal berbagai pihak sudah memprediksi akan kehadiran dua figur penting sebagai kandidat Walikota Cimahi, Ngatiyana sebagai mantan Wakil Walikota/Walikota Cimahi, dan Dikdik Suratno Nugrahawan (Sekda Cimahi, & mantan Penjabat Walikota Cimahi. Dengan demikian, apabila kedua pihak menjadi kompetitor bertarung untuk meraih jabatan Walikota Cimahi, maka dapat dianalogikan sebagai “duel EL clasico”, yang membuat masyarakat bergairah dalam menentukan pilihannya.
Adapun “Track record” atau rekam jejak kedua figur ini dapat diungkapkan sebagai berikut :

1. Ngatiyana, adalah wakil walikota Cimahi sebagai pasangan Ajay Muhammad Priatna sebagai Walikota Cimahi masa jabatan 2017-2022. Selanjutnya saat Walikota Cimahi tersandung kasus hukum, maka sejak akhir tahun 2021 Ngatiyana berkedudukan sebagai Pelaksana Tugas atau PLT. WALIKOTA CIMAHI YANG TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN menentukan Kebijakan, dengan kata lain beliau hanya bertugas menjalankan rutinitas administrasi pemerintahan. Selanjutnya yang bersangkutan dilantik sebagai Walikota Cimahi pada tanggal 16 Agustus 2022 dan berakhir sampai dengan 22 Oktober 2022. Dalam jangka waktu dua bulanan nemimpin Kota Cimahi sudah barang tentu dengan waktu yang sangat singkat ini tidak sempat mengambil kebijakan yang bernuansa “baru”, Sehingga kinerja pemerintahan beranjak dari kebijakan dan program pejabat lama.

2 Dikdik Suratno Nugrahawan, asli putra daerah Cimahi, beliau meniti karir di lingkungan ASN dari pegawai biasa sampai memegang jabatan tertinggi ASN di pemkot Cimahi yaitu sebagai Sekda Kota Cimahi. Jabatan ini disandangnya sudah berjalan 5 tahun.

Jabatan rangkap sebagai Penjabat Walikota Cimahi telah embannya sampai akhir masa jabatan satu tahun sesuai dengan peraturan perundangan. Namun demikian, dalam mengemban jabatannya, beliau selalu diterpa isu atau rumor dari kalangan tertentu yang sangat merugikannya.

Baca Juga: Samsul Bahrin, Aknan Sopi dan Billam El Nufair Raih Penghargaan Atas Logo ‘Cimahi Campernik’ 

Seperti halnya, yang bersangkutan selalu dikait-kaitkan dengan kasus hukum yang menimpa Walikota Cimahi sebelumnya. Padahal perkara hukum Walikota Cimahi sudah mendapat putusan pengadilan yang bersifat tetap atau inkrah. Dalam naskah putusannya yang berkaitan dengan pertimbangan hukum tidak ada narasi keterlibatan pejabat pemkot Cimahi dalam perkara hukum Walikota Cimahi.

Oleh karenanya berlaku asas Ne Bis ini Idem, yaitu perkara dengan obyek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama, diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.
Rumor selanjutnya adalah ada istilah “pencopotan” Jabatan yang bersangkutan sebagai Penjabat Walikota Cimahi.

Lambang Pemerintah Kota Cimahi

Istilah pencopotan ini merupakan bahasa yang digunakan oleh salah satu media online saat itu yang berkaitan dengan pemberhentian Dikdik S. Nugrahawan sebagai Penjabat Walikota Cimahi oleh Mendagri. Karena berita ini viral sampai ke pemerintah pusat, akhirnya kemendagri sempat mengkkarifikasi hal ini bahwa istilah pencopotsn ini tidak benar. Apabila memperhatikan Peraturan Mendagri No. 4 Tahun 2024 tentang Penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa masa jabatan Penjabat itu satu tahun. Dan setelah 6 bulan dilakukan evaluasi kinerja terhadap yang bersangkutan oleh pemerintah pusat. Dan apabila hasil evaluasi menunjukan kinerja yang tidak baik, maka Mendagri dapat mengganti penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut sebelum masa jabatannya berakhir. Namun demikian, berdasarkan Keputusan Mendagri No. 100.2.1.3-4111 Tahun 2023 Tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Walikota Cimahi, bahwa pemberhetian Dikdik S. Nugrahawan sebagai Penjabat Walikota Cimahi karena akhir masa jabatan satu tahun, bahkan dalam keputusan Mendagri tersebut Mendagri menyampaikan ucapan Terima kasih kepada Dikdik S. Nugrahawan atas jasa dan pengabdiannya selama memegang jabatan tersebut.

Terkait isu inflasi tinggi di Cimahi, saat itu secara nasional di seluruh daerah mengalami hal yang sama, bahkan ada ucapan dari kemendagri yang menyebutkan bahwa Cimahi sebagai sentra produsen cabe. Hal ini sempat dikkarifikasi kembali.

Dari gambaran diatas, kiranya semua komponen masyarakat Cimahi seyogyanya memiliki kewajiban yang sama untuk bagaimana menciptakan iklim politik yang kundusif dalam rangka mewujudkan pilkada 2024 yang bermartabat, jurdil dan luber. Ada sebuah bidal atau pomeo yang berbunyi bahwa “lebih baik menjual martabak untuk memperoleh Martabat, daripada menjual martabat untuk memperoleh martabak”. Wallohu A’lam. (Red)

(djamukertabuidi).