Palembang,-KOMPAS86.id.-
Hingga saat ini Pemerintah belum menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), namun harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sudah anjlok.
Sementara itu, harga beras di pasaran
tetap tinggi dan belum ada tren penurunan. Pemerintah diminta segera merumuskan kebijakan komprehensif di bidang pangan agar tercipta kewajaran pada ketersediaan dan harga pangan.
Anomali harga ini menjadi salah pokok perdebatan panas pada Focus Group Discussion (FGD) tentang pangan yang diselenggarakan Nagara Institute di Palembang, Selasa Selasa (28/2/2023).
Ini merupakan rangkaian rally FGD Nagara Institute setelah sebelumnya di laksanakan di
Jakarta, Bandung dan Makassar sebelum di Palembang kali ini, hadir dalam FGD yang dipandu
Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faizal ini adalah Kepala Badan Pangan Nasional Arief
Prasetyo Adi, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Deputi I Badan Pangan Nasional
(Direktur Ketersediaan dan Stabilitas Pangan) Badan Pangan Nasional I Gusti Ketut Astawa,
pengamat ketahanan pangan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori, peneliti senior Nagara
Institute Dr Nurkholis dan juga hadir seluruh instansi yang bersinggungan dengan pangan se-Sumsel serta PT Pusri, Bank Sumsel-Babel, BRI Pimwil Sumsel, Dekan Fak Pertanian Unsri, pihak
PHRI, BPS, BMKG, hingga komunitas Gapoktan dan perwakilan pedagang beras se-Sumsel yang juga pemilik brand beras terkenal Topi Koki.
FGD diawali pemaparan agenda diskusi oleh Nurkholis yang menyebutkan secara global, dunia
saat ini memang menghadapi tantangan masalah pangan. FGD ini, menurutnya, untuk mencari
dan menakar rumusan ketersediaan dan kewajaran harga pangan baik di tingkat petani
(produksi), di tingkat distribusi, dan di tingkat konsumen. “FGD ini diharapkan mampu
menemukan formula itu demi ketahanan dan keberlanjutan pangan di Indonesia,” papar Nurcholis
Pengamat dan kolumnis pangan Khudori menyoroti kebijakan pangan nasional yang disebutnya
mis-orientasi. Menurutnya, masalah pangan muncul lantaran karakteristik pengelolaannya
didominasi orientasi pasar, kecuali beras. “Semua diserahkan pasar. Di dunia, pasar pangan itu
distorsif, artifisial dan tidak mencerminkan efisiensi yang sebenarnya. Sebab, ada subsidi-subsidi
pada proses produksinya, sehingga seakan-akan harga pangan murah,” jelasnya.
Di sisi lain, terjadi monopoli oleh segelintir pelaku distribusi pangan, dalam terutama beras.
Akibatnya, terjadi ketidakwajaran atau ketidakseimbangan antara di tingkat produksi dan
konsumen. Kondisi seperti ini jelas merugikan petani sekaligus konsumen, dan diuntungkan
adalah segilintir distributor yang memonopoli perdagangan.
Selain itu, menurutnya, masalah pangan di Indonesia lebih diperlakukan sebagai Komoditas Politik ketimbang komoditas ekonomi. Hal itulah yang menyebabkan kebijakan Pemerintah di
bidang pangan dan atau pertanian selalu parsial dan tidak menyeluruh. Ssehingga tidak bisa
benar-benar menyelesaikan masalah pangan nasional. Karena itulah, meskipun dalam sepekan
terakhir harga gabah di tingkat petani menjelang panen raya anjlok, ternyata tidak diikuti
penurunan harga beras di tingkat konsumen. “Kita lihat, meskipun harga gabah di tingkat sudah
anjlok, ternyata harga beras tetap tinggi di tingkat konsumen. Ada distorsi di sana,” tegasnya.
Ditambahkannya, dengan harga pangan tinggi dan daya beli rendah, akibatnya masyarakat kita
mengonsumsi pangan yang kurang bergizi.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengaku pihaknya terus menyiapkan
berbagai upaya untuk memperbaiki tata kelola pangan nasional ini. Sampai saat ini, menurutnya,
pemerintah memang belum menetapkan HPP. Namun, ia mengakui penurunan harga gabah di tingkat petani sudah terjadi.“Yang sudah baru surat edaran yang dibuat berdasarkan hasil
kesepakatan dengan para pelaku Industri Pangan,” kata Arief.
Belum lama ini, Bappenas memang telah membuat surat edaran berisi kesepakatan harga batas
atas GKP di tingkat petani Rp .4.550 per kilogram, GKP di tingkat penggilingan Rp 4.650 per
kilogram, dan Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp 5.700 per kilogram.
Sementara, batas atas beras medium disepakati Rp 9000 per kilogram.
Sebagai dampak dari surat edaran tersebut, harga gabah di tingkat petani di berbagai daerah
langsung anjlok. Di beberapa daerah di Jawa Timur, misalnya, harga GKP sudah anjlok dari
sebelumnya Rp 5.600 menjadi hanya Rp 3.500 per kilogram. Sementara, harga berasa medium di
tingkat konsumen tetap tinggi, masih di atas Rp 10.000 per kilogram.
Mencermati masalah tersebut, Arief Prasetyo Adi menjelaskan, kesepakatan harga dalam surat edaran tersebut dimaksudkan agar terjadi kewajaran harga mulai dari hulu hingga hilir, mulai
dari tingkat petani hingga konsumen.
“Sekarang ini harga memang tidak normal. HPP masih belum dikeluarkan secara resmi. Kami
sedang menyiapkan HPP. Tapi membicarakan masalah pangan tidak boleh sepotong-sepotong, harus menyeluruh mulai dari hulu sampai hilir,” kata Arief Prasetyo.
Badan Pangan Nasional yang baru berumur setahun ini, menurut Arief, juga sedang menyiapkan
berbagai kebijakan dan strategi yang menyeluruh menyangkat masalah pangan mulai dari hulu
sampai hilir. Misalnya soal harga, tidak bisa di tingkat hulu harga ditekan, lalu di hilirnya tidak
dijaga. Harus ada kontinuitas dan keseimbangan. “Boleh mengambil keuntungan, tapi harus tetap
dalam batas kewajaran,” ujarnya.
Bulog disebutnya akan menyerap hasil panen dari petani. Sebab, menurutnya, Bulog memang
ditugaskan untuk itu dan memiliki dana yang cukup untuk menyerap produksi petani. Bulog,
menurutnya, punya dana untuk menyerap produk petani sebesar Rp 20 triliun saat ini.
Mengomentari penjelasan Kepala Badan Pangan tadi, Khudori menyarankan agar pemerintah
segera menetapkan HPP yang tidak merugikan petani, namun juga tidak memberatkan
konsumen. HPP, menurutnya, bisa menjadi instrumen yang menutup peluang terjadinya moral
hazard. “Yang penting ada instrumen bagaimana petani tidak dirugikan, tidak memberat
konsumen, dan tidak mematikan pengusaha penggilingan kecil,” ujarnya.
Solusi Komprehensif tak hanya soal ketersediaan dan harga pangan yang menjadi perdebatan panas peserta FGD.
Muncul juga desakan agar pemerintah membuat grand design tata kelola pangan nasional yang
komprehensif agar terbangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Salah satunya dari Gubernur Sumsel Herman Deru. Ia berharap agar pemerintah pusat lebih
banyak membuat kebijakan dan langkah-langkah yang lebih menguntungkan petani. Sebab,
menurutnya, tanpa dorongan dan insentif dari pemerintah pusat, produktivitas pangan
berkelanjutan sulit untuk diwujudkan. “Petani kita tak bangga dengan profesinya. Generasi
milanial tak tertarik menjadi petani. Bagaimana mau tertarik kalau pendapatannya cuma setara
Rp 100 ribu,” katanya.
Meski begitu, untuk meningkatkan ketahanan pangan di wilayahnya, Gubernur Herman Deru
kian gigih mengupayakan berkembangnya serta meningkatnya produksi pangan di Sumsel.
Bahkan sejumlah usulan hingga terobosan yang berpotensi pada kemajuan sektor pangan
khususnya beras di Sumsel terus dilakukan hingga saat ini. Hasilnya, dalam waktu tak kurang
dari 4 tahun masa kepemimpinnya, Sumsel pun menduduki peringkat 5 besar sebagai provinsi
penghasil padi terbesar di Indonesia.
“Saya pastikan Sumsel tidak main-main dalam hal pangan ini. Pada awal menjabat sebagai
Gubernur, produksi beras di Sumsel ini hanya menduduki peringkat 8 besar, namun saat ini
meningkat lima (5) besar. Artinya, Sumsel ini betul-betul serius untuk memajukan pangan ini,”
kata Herman Deru.
Bahkan untuk menjaga semangat para petani, lanjutnya, Pemprov Sumsel pun menyerap beras
hasil petani di Sumsel melalui Bulog. Beras petani yang diserap tersebut diberikan kepada ASN
di lingkungan Pemprov Sumsel.
“Memang jumlah yang diserap hanya beberapa ton, tapi yang jelas ini untuk menjaga psikologi
petani agar merasakan jika pemprov ini peduli,” katanya
Yang menjadi persoalan, menurutnya, para petani adalah mereka yang masih merasa menjadi
buruh di lahannya sendiri. “Inilah yang masih kita upayakan. Petani ini masih merasa menjadi
buruh di lahannya, karena memang hasil yang didapat petani jauh dari kata cukup,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Tri Wahyudi Saleh, menyampaikan
sejumlah kendala dalam mendukung peningatan produksi pangan. Salah satunya, misalnya,
masalah pasokan fosfat. “Pemerintah harus menyiapkan agar bahan baku pupuk selalu tersedia
yang cocok dengan kebutuhan petani kita,” katanya.
Harapan serupa juga disampaikan kalangan perbankan yang terlibat dalam FGD ini. Direktur
Utama Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumsel-Babel Achmad Syamsudin berharap
pemerintah menyiapkan strategi agar para pelaku industri pangan mulai dari hilir hingga hulu
menjadi bankable.
Sebab, menurutnya, potensinya memang sangat besar jika tata kelola pangan dilakukan dengan
baik. Ia mencontohkan, saat ini BPD Sumsel-Babel sudah menyalurkan KUR sebesar Rp 2,4
triliun dengan NPL di bawah 1 persen. “Ini menunjukkan potensi ekonomi di bidang pangan ini
sangat besar,” katanya.
Hal senada diungkapkan Kepala Kantor Wilayah BRI Palembang Wahyudi Darmawan.
Menurutnya, peran utama perbankan adalah membantu petani dalam akses keuangan dan
menurunkan biaya produksi. Salah satunya pembiayaan melalui KUR. BRI Wilayah Palembang
Sumatera Selatan telah menyalurkan KUR Rp sebesar 2,7 triliun di sektor pertanian dari total Rp
5,3 triliun KUR. “Totalnya, 60 persen KUR untuk pertanian dan sisanya untuk sektor perikanan,
perdagangan dan lainnya. Semua bankable dari hulu hingga hilir,” kata Wahyudi Darmawan. (Santo)
Editor,”(RUDI H)