CIMAHI|KOMPAS86.ID, -Satu jam bareng narsum (Narasumber) kompeten bidang perencanaan kota, membuat sahabat Radio Iimawaktu geli mendegarnya.
Melalui Siaran On Air yang dipandu Danny Herlambang, langsung dari BRAM Studio Podcast Cimahi Mall lt.2 Blok D19/20. Kedua Narasumber yakni Imanda Pramana -Tim advokasi Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Jawa Barat, dan Herlangga Prasetya seorang Aktivis Lingkungan Hidup dari KABUT-INDONESIA mengupas tema, “Politik Membangun Sebuah Kota” disambut positif.
Talkshow berdurasi 60 menit masuk di program “NGOPI” (Ngobrol Pintar Penuh Ispirasi), digagas tim Redaksi yang secara live disiarkan dari lt 2 Jl. Ganda Wijaya Kota Cimahii.
Sejarah Perencanaan Kota Cimahi
Sejak Zaman Belanda, kota Cimahi diperuntukkan sebagai kota militer, namun demikian kini telah berubah menjadi sebuah kota jasa dan lainnya.
“Bicara Kota Cimahi merupakan salah satu kota yang sudah lari dari konsep awal berdirinya sebuah kota. Saat ini Kota Cimahi merupakan salah satu penyesatan sebuah kota, karena sejarahnya Kota Cimahi dibuat sebagai kota militer dan kini seiring perkembangan zaman telah berubah dan lari dari konsep awal sebagai kota militer,” ujar Imanda mengawali pembicaraan.
Disinggung terkait adanya pergeseran konsep sebuah kota yang berdampak pada pergeseran tata lingkungan, sistem drainase dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), Imanda menyebutkan jika pemerintah melalui Permen PU dan Permen ATR telah mengeluarkan aturan tentang RTH hingga tingkat RT.
“RTH ini penting, apalagi peraturannya sudah ada, baik Permen PU dan ATR, yang menyebutkan jika RTH harus dibuat hingga tingkat RT, dalam mewujudkan saya dukung lingkungan sebuah kota, semua sudah diatur bagaimana RTH Publish bagaimana RTH Privat, disinilah salah satu fungsi dari para ahli perencana dan tata ruang bagaimana RTH bisa mendorong pemerintah mewujudkan RTH 20 % untuk publik dan 10 % untuk privat sesuai yang telah diikat oleh para ahli perencana, bahkan idealnya RTH dibangun hingga level RT minimal 50 m2. Persoalannya adalah bagaimana tindakan dan pengawasannya,” ujarnya.
Persoalan munculnya perubahan atau pergeseran tata ruang adalah dampak minimnya pengawasan dan pengendalian yang dianggap melanggar dari sebuah perencanaan.
“Kami sebagai praktisi perencanaan tata kota sudah dibekali RTH publik dan private 30%, belum lagi ada sempadan sungai yang menjadi kawasan lindung, tapi ya itu tadi, siapa yang bisa mengendalikan dan mengawasi dalam perjalanannya, bicara sempadan sungai, kita lihat bersama semua sungai dan anak sungai sudah menyempit, dampaknya sudah dipastikan banjir,” tutur Imanda.
Terkait perencanaan pembangunan kota Cimahi yang berkelanjutan, Imanda berharap semua stakeholder yang ada baik pemerintah, akademisi maupun swasta harus duduk bersama mengkaji kembali arah kedepan Kota Cimahi.
“Aspek pengendalian menjadi sumber persoalan setiap kota yang ada di Indonesia termasuk Kota Cimahi, saat ini peran pengendalian tidak pernah berfungsi, termasuk di tatanan pusat. Begitu pun faktanya, kami para planner sebagai salah satu stakeholder merasa tidak memiliki peran dan fungsi dalam membangun sebuah perencanaan kota, kami dipaksa hanya sebagai ‘kuli proyek’ yang tidak memiliki kewenangan, padahal banyak aturan baru yang bagus terkait pengendalian ruang tetapi dilapangan masih sulit diimplementasikan,” ujarnya.
Ia menilai, banyaknya kasus-kasus pelanggaran tata ruang yang tidak pernah tuntas, meski digiring kearah pidana tetapi tidak pernah menyelesaikan substansi atau penyelesaian dari kasus penataan ruang itu sendiri.
“Penyelesaian pelanggaran tata ruang baiknya melalui pendekatan non-mitigasi, artinya bisa dilakukan melalui pendekatan kajian-kajian, toh faktanya ketika digiring ke ranah pidana tidak pernah akan tuntas, objek pelanggarannya pun masih ada, tidak ada penyelesaian yang berpihak pada konsep penataan ruang yang ideal,” tegasnya.
Disinggung secara politik dalam membangun sebuah kota khususnya Kota Cimahi, Imanda memberikan gambaran yang penting dipahami bagi para pengambil kebijakan.
“Rencana Tata Ruang adalah produk hukum, ini harus digarisbawahi bersama, Cimahi sebagai kota padat, sudah saatnya arah pembangunan merujuk pada pembangunan vertikal, persoalannya apakah dokumen RTRW nya sudah disiapkan, bagaimana RDTR nya, cukup panjang dan rumit untuk mengkaji kembali,” kata Imanda.
Peran Kepala Daerah dalam Tata Ruang
Saat ini pemerintah tidak serius menangani persoalan tata ruang di wilayahnya masing-masing.
Menurutnya, di beberapa daerah yang dijumpai, para ASN tidak pernah memiliki tools apa-apa yang menjadi pedoman dirinya bekerja atau bertindak bagi seorang PPNS.
“Contoh saja, apakah para ASN kita ini mampu mengembangkan peta Big data dari RTRW dengan skala yang lebih detail misalnya 1:1.000, kan mereka tidak! Dimana peran PPNS kalau tidak memiliki tools yang dibutuhkan, jadi pemerintah ini memang tidak serius menangani Tata Ruang, padahal RTRW merupakan dokumen penting sebuah pembangunan di daerah,” tegasnya.
Disinggung terkait peta politik kedepan, bagaimana peran legislatif dan eksekutif terhadap sebuah kebijakan RTRW Imanda menyampaikan jika tarik menarik antara eksekutif dan legislatif sudah terbiasa dalam penetapan sebuah perda RTRW, bahkan menjadi komoditi politik tersendiri.
“Tata ruang rezimnya adalah perizinan, perubahan RTRW biasanya dibuat karena ada kepentingan yang lebih besar, ketika produk RTRW baru muncul menggantikan yang lama terkadang para ASN merasa ragu-ragu dalam bertindak. Kadang hal ini jadi salah kaprah, semestinya ini tidak perlu terjadi, seharusnya dikaji lebih dalam lagi, satu sisi bagaimana kota akan berkembang jika Perda nya justru menghambat investasi, negara ini akan tertinggal jauh dari negara lain, disinilah fungsi dan peran para planner, mari bahas lebih dalam bagaimana membangun sebuah kota dengan keterlibatan para planner khususnya di Jawa Barat,” pungkasnya.(Hr/**)