KUPANG, Kompas86.id- Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia dalam putusan Kasasi, menetapkan terdakwa Hery Pranyoto, S.E., A.K., karena terbukti bersalah.
Hery Pranyoto merupakan terdakwa perkara dugaan tindak pidana korupsi pemanfaatan aset tanah Pemprov NTT seluas 31.670 m2 di Pantai Pede, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, yang di atasnya dibangun Hotel Plago.
Perkara Nomor 5878 K/Pid.Sus/2024 ini diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung RI pada tanggal 19 September 2024, dengan amar putusan menetapkan terdakwa Hery Pranyoto terbukti bersalah sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dengan pidana penjara 3 tahun, dan denda Rp 100 juta subsidair 1 bulan kurungan.
Sebelumnya, terdakwa Heri Pranyoto selaku Direktur PT Sarana Wisata Internusa, dituntut JPU dengan hukuman 7 tahun penjara, dan denda sebesar Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Terhadap tuntutan JPU, Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Kupang dalam amar putusan membebaskan terdakwa Hery Pranyoto, bersama 3 terdakwa lainnya, yaitu Bahasili Papan, Lydia Chrisanty Sunaryo selaku Direktur PT Sarana Wisata Internusa, dan Thelma D.S. Bana selaku Kabid Pemanfaatan Aset/Pengguna Barang Provinsi NTT.
Terhadap putusan bebas tersebut, JPU pun melakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Kepala Seksi Penyidikan Bidang Pidsus Kejati NTT, Mourest Aryanto Kolobani, S.H., M.H., yang dikonfirmasi awak media ini pada Senin (23/9/2024) pagi, membenarkan putusan tersebut.
“Ya, benar, kami sudah menerima informasi terkait dengan putusan Kasasi terhadap terdakwa Hery Pranyoto yang divonis bersalah. Amar putusannya, terdakwa ini terbukti bersalah sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, dengan hukuman pidana pokok 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsidair 1 bulan kurungan,” kata Mourest.
“Kami terus berkoordinasi, untuk secepatnya mendapatkan salinan putusan, termasuk memantau perkembangan putusan terhadap tiga terdakwa lainnya,” lanjut dia.
Menurut Mourest, setelah menerima petikan putusan Kasasi ini, pihaknya segera melakukan pemanggilan terhadap terpidana Hery Pranyoto untuk proses eksekusi putusan.
“Kami berharap kepada terpidana Hery Pranyoto untuk koperatif sehingga proses eksekusi nantinya berjalan lancar,” tambah Mourest Kolobani yang juga mantan Kacabjari Flores Timur di Waiwerang-Adonara itu.
Untuk diketahui, sebelumnya dalam amar tuntutan JPU, terdakwa Bahasili Papan dituntut dengan hukuman 10 tahun penjara.
Selain pidana penjara, Bahasili Papan juga dituntut pidana denda sebesar Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan, dan juga Uang Pengganti kerugian negara sebesar Rp8.522.752.021,08, dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar Uang Pengganti paling lambat 1 bulan sesudah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi Uang Pengganti tersebut.
Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar Uang Pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 4 tahun, 6 bulan penjara.
Kemudian, terdakwa Lydia Chrisanty Sunaryo selaku Direktur PT Sarana Wisata Internusa, juga dituntut JPU dengan hukuman 10 tahun penjara, dan denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Sedangkan, terdakwa Thelma D.S. Bana selaku Kabid Pemanfaatan Aset/Pengguna Barang Provinsi NTT, dituntut dengan hukuman 5 tahun penjara, dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Sebelumnya, JPU Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur melakukan upaya hukum kasasi sebagai bentuk perlawanan atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Kupang yang membebaskan empat terdakwa.
JPU tampaknya tetap kukuh dengan keyakinannya bahwa para terdakwa terbukti bersalah dan patut dihukum.
Memori kasasi dilimpahkan oleh JPU ke Pengadilan pada Senin (29/4/2024), sesuai batas waktu yang ditentukan.
Kasi Penkum Kejati NTT, Raka Putra Dharma, S.H.,M.H., sebelumnya mengatakan, upaya kasasi dilakukan setelah JPU menyatakan menolak putusan hakim.
“Karena putusannya bebas, maka JPU langsung lakukan upaya hukum kasasi,” kata Raka.
Menurut Raka, JPU menilai pertimbangan hakim dalam putusannya telah mengesampingkan fakta persidangan, baik itu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat yang dihadirkan JPU.
Pertimbangan hakim dalam putusan justeru di luar dari fakta sidang. Bagaimana tidak, majelis hakim mempertimbangkan suatu fakta hukum di luar daripada apa yang terungkap dalam persidangan. Ada banyak pertimbangan hakim yang mengesampingkan fakta persidangan, dan semuanya sudah diuraikan secara lengkap dalam memori kasasi,” ungkap Raka.
“Ada juga keterangan yang dipertimbangkan hakim tersebut adalah berasal dari keterangan terdakwa saja, padahal alat bukti keterangan saksi yang menjadi fakta persidangan pula, menjelaskan sebagian besar dokumen administrasi proses tender tidak ditemukan, karena panitia seleksi dan panitia pengkaji tidak dilibatkan dalam proses teknis pengkajian maupun proses seleksi,” tambahnya.
Untuk itu, menurut Raka, JPU menilai majelis hakim telah memberikan putusan yang keliru dan salah, dengan tidak menerapkan aturan hukum yang sebagaimana mestinya.
“JPU menilai putusan hakim tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 138 KUHAP. Hakim telah memberikan pertimbangan yang kontradiktif, dan mengesampingkan alat bukti. Hakim juga tidak menerapkan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP sebagaimana mestinya, dengan tidak memberikan pertimbangan hukum yang lengkap, dan juga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHAP,” jelas Raka.
Tidak hanya itu, JPU juga menilai Pengadilan telah keliru dan salah menerapkan hukum, karena pada saat persidangan telah memberikan seluruh barang bukti yang dilimpahkan oleh JPU berdasarkan surat pelimpahan perkara dan pelimpahan barang bukti kepada penasehat hukum terdakwa tanpa sepengetahuan JPU.
Untuk itu, dalam memori kasasi, JPU telah memohon kepada Ketua Mahkamah Agung RI agar memberikan putusan membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Kupang. (Deni)