Tewasnya Napi di Lapas Kelas IIA Pangkalpinang Diduga Akibat Penganiayaan, Pengawasan Petugas Dipertanyakan

Bagikan artikel ini

Bangka Belitung, Kompas86.id

Tragedi mengejutkan terjadi di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Pangkalpinang pada Selasa sore, 10 September 2024. Seorang narapidana (napi) berinisial AS ditemukan tewas diduga akibat penganiayaan oleh sesama penghuni blok BBG, sekitar pukul 16.00 WIB. Kasus ini memicu perhatian publik, mempertanyakan pengawasan petugas lapas yang seharusnya menjaga keamanan dalam blok tersebut. Rabu (11/9/2024).

 

Menurut informasi yang dihimpun dari jejaring media KBO Babel, peristiwa naas ini tidak hanya melibatkan korban AS, tetapi juga pelaku penganiayaan yang dikabarkan sempat kritis setelah insiden tersebut.

 

Pelaku, yang juga seorang napi, dilaporkan mendapat perawatan intensif di salah satu rumah sakit di Kota Pangkalpinang akibat luka-luka yang diduga terjadi dalam perkelahian di dalam lapas.

 

Pertanyaan Publik Terkait Pengawasan Petugas

 

Kasus ini mengundang pertanyaan serius dari masyarakat mengenai kinerja dan pengawasan petugas di blok BBG. Publik bertanya-tanya di mana petugas penjaga blok saat insiden berlangsung, mengingat durasi kejadian yang berlangsung cukup lama.

 

Padahal, lazimnya blok tersebut diawasi oleh lebih dari dua petugas yang bertugas secara bergiliran. Bahkan, banyak yang menduga adanya kelalaian atau bahkan kemungkinan adanya kesepakatan antara pelaku dan petugas penjaga blok.

 

“Dimanakah komandan jaga, staf KPLP, dan KPLP sendiri saat kejadian ini berlangsung? Bagaimana mungkin kekerasan dengan dampak fatal seperti ini bisa terjadi di bawah pengawasan mereka?” tanya salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

 

Blok BBG sendiri dikenal sebagai salah satu blok paling “bebas” di Lapas Kelas IIA Pangkalpinang. Informasi yang beredar di kalangan masyarakat menyebutkan bahwa blok tersebut dihuni oleh napi yang memiliki kemampuan finansial lebih atau “cuan”.

 

Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa penghuni blok ini mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan napi lainnya, sehingga pengawasan cenderung longgar.

 

Tanggapan dari Pejabat Kemenkumham Babel

 

Saat dimintai konfirmasi mengenai kejadian tersebut, pejabat dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kanwil Bangka Belitung terkesan enggan memberikan keterangan detail.

Pihak Kemenkumham menyarankan media untuk langsung menghubungi Kepala Lapas (Kalapas) Kelas IIA Pangkalpinang untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

 

“Silakan konfirmasi ke Kalapasnya, biar semuanya jelas,” jawab seorang pejabat Kemenkumham secara singkat.

 

Sikap tertutup dari Kemenkumham Babel ini justru menambah keraguan publik mengenai sejauh mana kasus ini akan diusut tuntas.

 

Ketidakjelasan peran petugas lapas dalam insiden tersebut menimbulkan kekhawatiran akan adanya pelanggaran serius terhadap prosedur pengawasan di lapas yang semestinya melindungi para napi dari kekerasan antar sesama penghuni.

 

Dugaan Adanya Perlakuan Khusus di Blok BBG

 

Isu mengenai blok BBG, yang disebut-sebut sebagai blok paling bebas di Lapas Kelas IIA Pangkalpinang, semakin memperburuk citra lapas tersebut.

 

Blok ini diduga diperuntukkan bagi napi yang mampu memberikan “keuntungan” tertentu kepada petugas, sehingga mendapatkan perlakuan lebih longgar dalam hal pengawasan dan fasilitas.

 

Meski demikian, hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak lapas atau Kemenkumham terkait dugaan tersebut.

 

Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan, dan masyarakat berharap agar insiden ini diusut tuntas tanpa ada pihak yang mencoba menutupi fakta sebenarnya.

 

Masyarakat Tuntut Transparansi

 

Dengan adanya insiden tragis ini, tuntutan dari masyarakat Bangka Belitung semakin menguat agar pengelolaan Lapas Kelas IIA Pangkalpinang diperbaiki.

 

Mereka menuntut adanya transparansi dalam pengawasan napi dan tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan, baik di antara sesama napi maupun kemungkinan adanya kelalaian dari petugas.

 

Kejadian ini tidak hanya mencoreng citra lembaga permasyarakatan, tetapi juga memperlihatkan adanya celah serius dalam sistem pengelolaan lapas yang seharusnya berfungsi sebagai tempat rehabilitasi, bukan arena kekerasan. (KBO Babel / MB )