Klarifikasi Ketua DPC PKB Mabar Terkait Jual Tanah Gunung Warloka

oleh
Bagikan artikel ini

Labuan Bajo NTT – Menyikapi pemberitaan dibeberapa media online, salah satunya dari media kompas86.id edisi 15 Maret 2023 yang berjudul “Diduga Ketua DPC PKB Mabar Menjual Puluhan Hektare Tanah Gunung Warloka Secara Ilegal”

Kendati demikian, Sewar Gading, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Manggarai Barat dari Partai Kebangkitan Bangsa, yang juga menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) diduga menjual puluhan Hektare tanah Ulayat yang berlokasi di Kenari, Desa Warloka, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan harga miliaran.

Menanggapi hal itu, Rabu (15/03/2023) Kepada Wartawan, Sewar Gading menjelaskan bahwa
Gunung Warloka itu suatu gunung yang sangat besar yang total areanya itu mungkin ada 8 Hektar dari awal bukit sampai ujung bukit atau sampai di puncak gunung.

Dan satu hal yang perlu diketahui secara bersama bahwa mendahului kepemilikannya kami atau sebagain lahan yang ada di pusat gunung Warloka itu bertahun-tahun sebelum itu sudah ada puluhan bidang bersertifikat didalamnya yang dimiliki oleh banyak warga masyarakat Warloka yang terdiri atas warga dusun kenari dan warga dusun Warloka.

“Ada yang sudah mengantongi sertifikat ada yang mengantongi alas hak milik, seperti Surat perolehan dari ulayat, Surat kepemilikan dari desa, sekitar kurang lebih ada 6 atau 7 hektare manual dipuncaknya dan masih setatus tanah adat,” ujar Gading Ketua DPC PKB itu.

Menurut Gading, bahwa melalui mekanisme adat kapu manuk dengan pihak secara adat itu, kami sekelompok masyarakat yang terdiri atas belasan orang sudah menghadapi tua Ulayat meminta tanah ke tua adat yang diserahkan mekanisme adat. Tapi yang berlaku pada warga yang lain dan diserahkan ke kami karena kami yang berjumlah banyak orang tanah Ulayat disitu melalui kesepakatan dari seluruh anggota kelompok akhirnya waktu itu ada pertimbangan isyarat juga tidak bisa dan yang paling penting itu tidak ada akskes masuknya karena diseluruh lereng gunung Warloka itu tidak dikuasai semua oleh warga. Akhirnya waktu itu anggota kelompok meminta kepada saya bagaimana kalau seandainya kita cari pihak yang berminat. Dan puji Tuhan ada pihak yang berminat dalam hal ini bukan investor dari Bali, itu masih warga lokal yang berminat dan ditawarilah melalui kesepakatan bersama harganya dan berproses dan itupun belum ada pelunasan sampai sekarang.

“Kalau dibilang harganya fantastis ya, itu memang relatif, mungkin ada yang berpikir pada saat itu fantastis 11 juta itu fantastis 13 juta itu fantastis, ya itu soal kesimpulan mereka sebagaiannya,” ungkapnya.

Tapi yang paling penting kata Gading adalah:

Pertama, saya berpikir bahwa, apapun jabatan seseorang itu bukan berarti dia tidak punya hak secara adat. Jadi saya seperti warga-warga yang lain juga waktu itu sekitar ada 18 orang Warloka yang mendapatkan bagian didalam lahan itu. Saya salah satu dari belasan orang yang mendapatkan pembagian di puncaknya. Mungkin 20 persen dari total luas lahan yang ada diwarloka itu yang diserahkan ke kami dan itu yang paling terakhir dan tanah disekitarnya itu sudah dimiliki oleh warga semua, bahkan ada yang mengantongi sertifikat pada tahun berapa itu waktu ada program prona itu masih ada alas hak dasarnya.

Kedua, soal investor dari Bali itu kalau memang orang yang palingan dari kami maksudnya orang lokal untuk kemudian dia jual ke investor Bali. Nah itukan sudah menjadi otoritasnya dia atau haknya dia. Intinya dia sudah beli dari kami walaupun sampai sekarang alas haknya belum selesai karena masih menunggu proses-proses kepengurusan HKM dan sebagainya.Lalu kemudian ketika masih dalam urusan adat itu bukan berarti brending ketua DPCnya, tapi saya sebagai masyarakat adat di tanah mburak di Golo kenari yang sama-sama seperti warga yang lain diberi ruang yang sama untuk mengakses tanah-tanah adat dan kenapa waktu itu mau urus Anggota kelompok itu mufakati untuk kemudian dilepaskan ke pihak ketiga karena sudah tidak ada akses masuknya. Dan alhasil keluarga dari Warloka yang beli karena memang hanya dia (pembeli) yang punya lahan yang menghubungkan antara jalan dibawa dengan tanah yang sisa di puncak itu sehingga kami lepas.

“Kalau memang ada Nara sumber yang bilang bla-bla dan sebagainya sehingga saya berpikir kalau memang informasi yang dia sampaikan itu bisa dipertanggung jawabkan ya mengapa mesti disembunyikan identitasnya? Kalau begini caranyakan sama halnya pencemaran nama baik,” pintanya.

Dari hasil penjualan itu, kisaran keseluruhan lahan itu berapa ? tafsiran harga keseluruhannya berapa? dan sisah dari penjualan itu berapa yang belum dibayar? Tanya wartawan.

“Jadi saya berpikir begini, yang paling penting kan luas kurang lebihnya kemarin itu manualnya sekitar ya mungkin karena inikan tanah di puncak gunung, jadi luas manualnya sama luasan pengukurannya itu yang jelas ada perbedaannya dan itu masi dalam proses, jadi soal harganya saya berpikir karerena dalam angkanya tidak hanya menjadi haknya saya tetapi hak dari belasan orang, jadi kami menjaga hak privasinya mereka untuk membuka dan tidak mebuka ke publik,” cetusnya.

Apakah benar tanah tersebut milik Ulayat??

Yang jelas kita ini orang Manggarai, jadi semua tanah yang masih dalam kategori perawatan masih dalam kawasan hutan maupun kawas yang dimuat itukan pasti kepemilikannya yang belum terbagi adalah masih dalam hal ulayat.

“Yang kami jual ini bukan tanah Ulayat tetapi tanah yang tidak diserahkan oleh tua adat dalam hal ini tanah ulayat kepada kami. Setelah kami mengantongi secara resmi baik itu proses adat maupun proses administrasi di desanya dan itupun setelah musyawarah baru kami lepaskan. Dan yang dilepaskan itu bukan tanah ulayat, dan bukan tanah adat.,”bebernya.

Karena disitu ada perbedaannya. Lain cerita kalau ada tanah Yang setatusnya tanah Ulayat itu saya berkapasitas dan sewenang-wenang saya menjual, Itu lain cerita.

“Puji Tuhan kemarin itu karena memang ulayat, tua adat melihat bahwa ini tanah sudah tidak ada ruang akses dan sebagainya dan dia juga mempertimbangkan bahwa hanya kami beberapa orang yang belum dapat bagian disekitar situ ya makanya kami dikasi bagian.Itupun kalau dibagikan perorang, itu mungkin hanya dapatnya 8 kali sekian puluh meter,” Pungkasnya.

“Kepemilikan kami itu sudah diketahui oleh Tua Golo. Bukan hanya cuman Tua Golo, tetapi juga diketahui oleh Tua Ulayat, dan sudah diketahui oleh pemerintah desa. Itu soal kepemilikan kami. Soal menjual dan tidak menjual, kami bukan domainnya mereka lagi dan itu sudah menjadi setatusnya hak milik kita secara adat,” tambahnya.

Ditanya terkait, bisa tidak mendapatkan bukti Surat kepemilikan tanah yang telah dijual dari belasan orang itu??

“Jadi begini Kalau narasumbernya jelas maka saya akan perjelaskan semuanya, dan sampaikan ke nara sumbernya itu kalau informasinya itu dapat dipertanggung jawab, jangan disembunyikan identitasnya. Lalu kemudian yang lain dia menyebutkan ASN dan sebagainya saya juga baru tahu, siapa itu oknum ASN yang dimaksudkan,”

Artinya ini merupakan ngarang- ngarang ceritanya. Setiap kita yang hidup di negeri ini, di daerah ini punya hak untuk menyampaikan pendapat apapun tetapi harapannya pendapat itu bisa dipertanggung jawabkan dimata hukum.

Jangan hanya melempar bola kepublik lalu kemudian sembunyikan jati diri dan sebagainya.

Tidak mungkin orang yang mau membeli sesuatu itu tanpa ada suatu keyakinan bahwa kepemilikan seseorang. Jangankan mau beli tanah, orang yang mau beli ayam saja dia berpikir ini benaran ayam atau tidak.

Beberapa hal yang perlu digaris bawahi, pertama, bukan hanya saya punya tetapi ada belasan orang didalamnya.

1.Dijual itu berdasarkan atas kesepakatan bersama.

2.Harganya itu berdasarkan ada kesepakatan bersama.

3.proses penjualannya itu dengan mempertimbangkan karena sudah tidak ada akses masuk dari jalan besar ke bidang tanah di puncak itu karena disekeliling lereng gunung Warloka itu bertahun-tahun sebelumnya sudah ada warga yang mengantongi legalitas kepemilikan berupa sertifikat hak milik dan jumlah alas hak dasar tetapi perolehan dari tua adat dan juga kepemilikan dari desa.

4.Kepemilikannya kami itu setelah melalui proses atau mekanisme permintaan secara adat kepada ulayat setempat dan diketahui oleh semua Tua Golo, diketahui oleh kepala ulayat dan diketahui oleh pemerintah desa.(***)