Labuan Bajo ( NTT ) KOMPAS86.id — Musibah tenggelamnya kapal wisata KLM Tiana Liveaboard di pulau kambing Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa 26 Juni 2022 yang lalu, sampai hari ini mengisahkan sebuah tanda tanya besar. Apa benar kapal wisata tersebut tenggelam karena faktor alam (force major) atau karena kesalahan manusia (human eror)?
Plasidus Asis Deornay, S.H., selaku penasehat hukum Kapten dan ABK KLM Tiana Liveaboard menyebutkan, beberapa indikator ditemukan dalam proses hukum yang sedang berjalan di Polres Manggarai Barat.
“Sebagai penasehat hukum dari Capten dan ABK KLM Tiana Liveaboard, tentu saya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Bagi saya, agar tidak menimbulkan sebuah polemik ataupun kecurigan, kasus ini mesti mendapatkan kepastian hukumnya. Hanya ada dua langkah yang paling efektif dalam penyelesaian kasus ini.
Pertama, hentikan kasusnya SP3) atau
Kedua, dilanjutkan ke pengadilan,” ujar Asis.
Faktor penyebab lain dalam kasus ini, kata Asis. Ada banyak unsur yang saya temukan pada kasus ini. Baik sebelum peristiwa maupun setelah peristiwa tenggelamnya kapal wisata KLM Tiana Liveaboard Complicated bahkan carut marut.
“Fakta ini semakin terang bahwa tuduhan kalalaian dan/atau kealpaan yang ditujukan kepada klien saya (Kapten dan para ABK) tidak bisa diterima sebagai sebuah kebenaran. Sebab untuk mengujinya tidak sebatas hanya satu indikator atau satu subyek hukum saja, dan itu justru tidak adil secara hukum. Sebab jika tentang kelalaian atau kealpaan yang ikut serta melakukan kelalaian atau kealpaan pada kasus ini justru dilakukan juga oleh pihak syahbandar dan juga pemilik kapal. Merekalah yang juga ikut bertanggung jawab pada musibah ini,” Tegas Asis.
Tak hanya itu, Asis membeberkan, bahwa “IKUT SERTA” Pasal 55 KUHP. Hal ini justru menimbulkan pertanyaan mendasar saya. Apakah pihak yang saya sebutkan itu juga ikut menjadi tersangka? Saya kira, masukan saya ini minimal menjadi atensi rekan -rekan penyidik di Polres Manggarai Barat.
Dibawah ini saya beberkan kelalaia atau kealpaan para pihak:
Pertama, Syabandar: ditemukan ada daftar penumpang saat “clearance” tidak sesuai dengan jumlah penumpang yang ada di dalam kapal. Yang dilaporkan jumlahnya 20 penumpang, Faktanya yang ada didalam kapal tersebut justru berjumlah 24 penumpang. Tampak jelas, bahwa syabandar lalai pada prosedur ini. Mestinya pihak syabandar wajib melakukan double cek atas semua hal, baik menyangkut izinnya maupun SOPnya. Rutenya pun demikian. Kapal KLM Tiana Liveaboard sesungguhnya harus ke pulau komodo, namun faktanya KLM Tiana Liveaboard justru melewati rute yang bukan jalurnya. Tampak jelas dugaan permainan rute pada kasus ini. Ada semacam pembiaran dalam kasus ini. Ternyata dalam praktek hal ini sering terjadi.
Lebih lanjut dikatakan Asis, Ada pun Faktor lain berdasarkan berbagai sumber dan keterangan, tampaknya kapal KLM Tiana Liveaboard ini tidak memenuhi kualifikasi pelayaran.
Pertama: Fisik kapal sangat kurus dan tinggi sehingga memudahkan kapal ini bisa tenggelam sewaktu-waktu. Faktor inipun menurut saya bahwa, syabandar ikut bertanggung jawab pada kasus ini.
Kedua: Pemilik Kapal:
Saya mencatat unsur kesengajaan justru dimulai dari kelalaian pemilik Kapal:
Ditemukan bahwa pemilik kapal ikut merekayasa jumlah penumpang dan rute perjalanan. Terbukti yang melakukan clearance justru pemilik kapal itu sendiri. Yang semestinya adalah tugas Kapten. Dia bersama keluarga yang lain pun ikut dalam pelayanan tersebut yang justru juga tidak masuk dalam daftar penumpang. Dari keterangan yang saya peroleh, situasi saat itu Kapten dan ABK dipaksa mengikuti perintahnya. Dalam perjalanan pemilik kapal pun membagikan minuman beralkohol jenis bir kepada KAPTEN dan ABK yang mestinya tidak boleh dia lakukan. Dia menabrak semua SOP yang ditentukan dalam aturan pelayaran. Miris!!
Ketiga: Kapten: Pada aturan pelayaran Kapten-lah yang paling bertanggung jawab atas nyawa penumpang (manusia). Pada sisi ini, dia lemah dalam menegakkan aturan dan standar operasional prosedur (SOP). Namun demikian, saya menduga kuat, yang membuat seorang Kapten dan ABK tak berdaya adalah campur tangan dan tekanan pemilik kapal yang over confidence melampaui kepatutan hukum.
FAKTOR UTAMA:
Sampai pada tahap penyidikan ini, sebagai PH saya Plasidus Asis Deornay, S.H., tentu memiliki kesimpulan yang berbeda dengan penyidik.
“Menurut saya, kata Asis, faktor penyebab lain tersebut diatas bukanlah penyebab utama tenggelamnya kapal KLM Tiana Liveaboard, namun yang terjadi adalah murni karena faktor alam. “Force Majeure”; peristiwa diluar akal atau prediksi manusia,” pintanya.
Apa indikatornya?
Lucus delicty atau tempat tenggelamnya Kapal Wisata KLM Tiana Liveaboard terjadi di pulau kambing. Tempat ini dikenal sebagai tempat berlabuh (pemberhentian) kapal wisata yang ingin melanjutkan trip-tripnya.
Tempat ini dikenal sebagai tempat yang nyaman. Terbukti ada “MORING” yang sudah tersedia ditempat itu. Yang berlabuh disana saat itu, tidak hanya kapal wisata KLM Tiana Liveaboard, tetapi ada juga kapal KLM ANDAR LUSIA. Pada peristiwa ini KLM Tiana Liveaboard tidak sedang melakukan pelayaran atau perjalanan. Dia berhenti atau berlabuh untuk menghindari cuaca buruk. Namun naas, sekitar pukul 05.00 pagi (dini hari 26 Juni 2022), badai angin menghantam tempat tersebut, sehingga menyebabkan KLM Tiana Liveaboard tenggelam seketika. Nyawa dua manusia pun meninggal pada peristiwa itu.
Sebelum kejadian badai angin tersebut, sekitar pukul 02.00 dini hari signal itu tampak mereka temukan dalam pelayaran sehingga memutuskan untuk berlabuh dan berhenti di pulau kambing.
Kapten kapal saat itu tetap bersiaga untuk memastikan agar semuanya baik-baik saja. Terbukti badai baru datang pada sekitar pukul 05.00 dini hari. Dan ketika itu kapten berteriak agar semua penumpang siap-siap menyelamatkan diri.
Dari sinilah saya tidak menemukan bahwa kapten Lalai dalam tugasnya. Memilih untuk berhenti dipulau kambing adalah sebuah pilihan yang tepat. Coba bayangkan kalau kapal tersebut dipaksakan terus berlayar. Bukankah justru menambah daftar manusia yang meninggal?
“Pada kasus ini, jujur kita tidak boleh menilai sepihak bahwa yang membuat nyawa manusia itu meninggal adalah karena kelalaian kapten semata. Menurut saya, unsur kelalaian sangatlah kecil untuk menemukan penyebab utamanya. Faktanya ada badai sebelum dan saat peristiwa terjadi. Ada durasi sekitar dua jam lebih mereka berhenti atau berlabuh dipulau kambing. Dua jam tersebut tempatnya dinyatakan nyaman. Tidak ada badai. Waktu terjadinya (tempus delicty-nya) baru sekitar pukul 05.00 dini hari,” Pungkasnya.
LANTAS HUKUM MENGHUKUM SIAPA?
Demi Kepastian dan Keadilan Hukum, sebaiknya kasus ini dihentikan saja (SP3). Kita tidak boleh memaksakan kasus ini dilimpahkan ke pengadilan. Ini justru menambah suram praktek penegakan hukum kita. Ditambah lagi si pemilik kapal justru telah merubah fisik kapal tersebut dimana itu menjadi barang bukti saat di persidangan nanti. Semakin suram sebab salah bukti materialnya justru tidak sempurna lagi. Inikah yang kita bawa ke pengadilan?
Mari kita periksa kembali kasus ini secara cermat. Yang tidak boleh di dalam hukum adalah MENGHUKUM ORANG YANG TIDAK BERSALAH.
Sumber: Plasidus Asis Deornay, S.H