Magelang Jateng-kompaa86.id
Bentrokan antar karyawan di lokasi smelter PT Gunbuster Nickel Industri yang berada di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Peristiwa ini dilaporkan terjadi pada Sabtu (14/1/2023) malam dan menelan tiga korban jiwa. Kerusuhan pekerja pada pembangunan smelter tersebut tak lebih dari gambaran sebuah fakta kecemburuan dari para pekerja lokal yang ingin tancap gas agar disetarakan dengan para pekerja asing yang berasal dari China untuk disetarakan dalam sistem pengupahan pekerja sebenarnya bertingkat terhadap level pekerja baik bidang mau pun skill dan pengalamannya. Skema pengupahan semacam ini sebenarnya telah banyak pula berlaku di Indonesia. Namun isu kecemburuan ini sengaja diangkat ke publik dan ditarik pada mekanisme banjirnya tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia tanpa melihat komposisi sebaliknya.
Berbagai aspek yang sengaja diangkat mulai dari proses kerjasama dengan pihak China dan tujuan pembangunan Smelter tersebut sengaja diungkit untuk dipersoalankan, walau pada faktanya kita membutuhkan penerapan alih technologi serta penguasaan hilirisasi sumber daya alam yang mutlak diperlukan. Namun kondisi tahun politik yang saat ini memanas menyeretnya pada perpecahan cara pandang, sebab ada yang melihatnya sebagai kerugian bangsa Indonesia akibat kebijakan pemerintah yang membolehkan TKA begitu banyak memasuki negeri ini. Namun disisi lain ada pula yang melihatnya sebagai kebijakan yang positif dibalik mahalnya proses alih technologi yang memakan biaya serta waktu yang panjang. Hal ini berdampak pada spekulasi pendapat untuk saling membenarkan antara satu dengan lainnya dari kubu politiknya masing-masing. Sehingga persoalan menjadi isu politik yang memuakkan.
Dibalik pembangunan smelter itu sebenarnya terdapat hal-hal yang disepakati antara Indonesia dan China. Kesediaan China untuk menanamkan investasinya di Indonesia bukan sekedar menggelontorkan sejumlah dana sebagaimana pinjaman hutang luar negeri layaknya terhadap bank dunia atau yang biasa berlaku bagi dana moneter internasional. Masyarakat tentu harus menyadari bahwa Amerika dan Eropah tidak akan bersedia meminjamkan dananya bagi pembangunan smelter tersebut yang berbuntut pada penerapan hilirisasi yang pada akhirnya menekan pihak mereka sendiri akibat naiknya harga tambang yang berasal dari Indonesia pasca beroperasinya smelter tersebut. Apalagi dibalik sengketa hukum Indonesia dengan Uni Eropa atas gugatan ke World Trade Organization atau WTO. Gugatan itu terjadi lantaran Indonesia resmi melarang kegiatan ekspor biji nikel pada tahun 2020 silam.
Di sinyalir bahwa smelter nikel milik PT GNI di Morowali Utara, Sulawesi Tengah tersebut dapat mengolah hingga 21,6 juta ton biji nikel per tahun untuk memproduksi feronikel atau NPI yang kemudian diekspor ke Cina. Tentu saja ini menjadi peluang besar bagi Indonesia yang sekaligus mengangkat harga nikel guna tidak lagi di eksport sebagai barang mentahnya. Selain harganya yang melambung tinggi, pembangunan smelter pun akan banyak menampung tenaga kerja lokal dan diharapkan mampu menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat, dibalik besarnya pasar feronikel kepada tujuan eksport ke manca negara, dimana uni eropah harus mencari sumber bahan mentah nikel baru bagi kebutuhan industri mereka jika tetap pada pendiriannya yang memaksa eksport Indonesia atas bahan mentah nikel yang selama dua kali lipat menguntungkan mereka.
Dugaan masyarakat pun terarah kepada kapan pengoperasian smelter ini benar-benar mendatangkan keuntungan yang berlipat bagi Indonesia, oleh karenanya, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menggandeng perusahaan asal China yaitu China Baowu Steel Group dan Shandong Xinhai Technology untuk bekerjasama dalam membangun pabrik pemurnian dan pengolahan atau smelter nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah ini dengan nilai investasi sekitar Rp 31 triliun. Pabrik smelter nikel tersebut diperkirakan akan mampu memproduksi sekitar 73 ribu hingga 80 ribu metrik ton nikel per tahun. Penandatanganan kerja sama investasi tersebut diharapkan akan menyelesaikan pembangunan pabrik smelter itu yang akan rampung paling lambat tahun 2025 mendatang.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini Indonesia sudah memiliki 15 smelter nikel. Ada pula 2 smelter bauksit, 2 smelter tembaga, 1 smelter mineral besi, dan 1 smelter mineral mangan. Sebelumnya Indonesia sudah memiliki 21 smelter, dan sesuai rencana akan bertambah 7 smelter pada tahun 2022 lalu. Proses hilirisasi ini akan menelan banyak pekerja lokal yang memanfaatkan alih technologi meskipun hanya melalui proses pengalaman dari cara pekerja lokal dalam menyerap skill dan pengalaman dari pekerja China yang datang ke Indonesia. Selain nikel, komoditas tambang lain pun dikenal memiliki efek pengganda ekonomi ketika mengalami proses hilirisasi. Misalnya, bauksit yang diolah dan dimurnikan menjadi alumina akan bernilai 8 kali lipat. Alumina yang ditingkatkan menjadi aluminium akan bernilai hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan saat masih berupa bijih bauksit.
Potensi untuk mendatangkan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat UUD45 begitu sangat terbuka saat ini. Melalui penghentian eksport bahan mentah dan pengetatan pengendalian hasil olahan dalam melakukan proses value added atas setiap olahan tambang yang tersedia di negeri ini, dimana keberadaannya tersebar dari Sabang sampai Merauke, tentu saja daerah akan memperoleh manfaat dari bertambahnya Pendapatan Asli Daerah dimana selama ini bertumpu pada sumber incomenya yang sebagian besar berasal dari pajak semata. Namun penanganan hilirisasi ini bukan tanpa tantangan. Selain Uni Eropa, ada banyak pihak yang menikmati eksport mineral mentah yang selama ini berselancar tanpa hambatan hingga menjadi kaya raya dari usahanya sejak bertahun-tahun yang lalu.
Oleh karenanya, demonstrasi pun harus dimunculkan agar rakyat tetap tidak sejahtera, sebab mereka tidak lagi bisa dibodohi nantinya. Sebab hanya dengan cara itu para kaum kapitalis itu bisa bertahan. Jika rakyat sejahtera siapa lagi yang akan membutuhkan uang mereka, apalagi sekedar ikut berdemonstrasi demi upah dan nasi bungkus yang tidak seberapa itu. Sebab hanya dengan cara itu para kaum kapitalis tersebut bisa bertahan. Jika rakyat sejahtera, siapa lagi yang akan membutuhkan uang mereka, apalagi sekedar ikut berdemonstrasi demi upah dan nasi bungkus yang tidak seberapa itu. Perkara asosiasi serikat pekerja, sesungguhnya kita pun tahu dari mana sumber pembiayaannya, kecuali mendapatkan posisi yang katanya membela hak-hak pekerja. Padahal jika kita cermati, justru merekalah yang menjadi penyebab bertambahnya beban pengeluaran perusahaan yang tidak sesuai dengan produktifitas para pekerja.
Dengan cara menimbulkan dampak tekanan yang mereka bangun melalui gelaran demonstrasi yang melibatkan para pekerja agar isu-isu tuntutan kenaikan upah pekerja dipaksakan, meskipun perusahaan tersebut belum memulai operasionalnya bahkan terhadap perusahaan yang berada di jurang kebangkrutan sekalipun. Sesungguhnya tidak ada cara efektif apapun yang bisa dibangun kecuali setiap pekerja harus berkomitmen untuk memajukan perusahaan dengan cara bekerja keras hingga berkontribusi secara maksimal, berdedikasi penuh serta loyal disertai Integritas dan kejujurannya, hingga pada akhirnya menciptakan kesejahteraan bagi dirinya sendiri. Bukan sekedar mengajarkan bagaimana cara menuntut kenaikan upah semata. Apalagi kontribusi serikat pekerja yang nihil akan pembinaan terhadap mereka.Edi G