PENDAHULUAN
Pemilihan umum menjadi salah satu bagian paling krusial dalam proses demokrasi, yang merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam Negara republik Indonesia. dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
Generasi muda dengan tahun kelahiran 1980 sampai dengan 2000-an dapat disebut sebagai generasi milenial. Generasi ini memiliki kemampuan yang lebih dari generasi sebelumnya, terutama dibidang komunikasi. Generasi milenial berkomunikasi tanpa bertatap muka secara langsung, dan bisa melakukan komun ikasi melalui aplikasi secara daring (online). Melalui kemajuan teknologi yang jauh lebih modern dari masa sebelumnya, pergaulan milenial memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Keikutsertaan milenial dalam berpartisipasi politik menjadi hal penting yang harus diperhatikan.
PEMBAHASAN
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 memprediksi jumlah pemilih di Indonesia mencapai 206 juta orang, dan 53,4 persennya adalah pemilih muda millenial dan Z. Artinya ini merupakan momen istimewa bagi generasi muda untuk ikut andil dan berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum tahun 2024. .
Pemilu menjadi salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa dan lobby. Bagi bakal calon yang akan berkontestasi Ikhtiar memengaruhi dan meyakinkan pemilih memang tidak mudah. Banyak sekali faktor yang menyumbang baik kesuksesan maupun kekalahan. Tak akan pernah ada faktor tunggal dalam mengatasi kompleksitas kampanye dengan cakupan wilayah nasional yang sangat luas.
Dalam pendekatan social judgement theory yang dikembangkan Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif sebagaimana dikutip Richard M Perloff di bukunya, The Dynamics of Persuasion (2003), khalayak yang dipersuasi berada di tiga zona.
Pertama, latitude of acceptance atau di zona penerimaan, kandidat sebagai pemersuasi (persuader) dapat diterima dan ditoleransi kehadirannya.
Kedua, latitude of rejection atau di zona penolakan. Kondisi itu biasanya terlihat dari munculnya resistensi atau posisi berseberangan dengan kandidat.
Ketiga, latitude of no commitment di saat kandidat tidak diterima, tetapi juga tidak ditolak.
Namun, jika kita tarik benang merahnya, secara umum ada empat faktor utama yang menjadi basis kekuatan tim pemenangan, yakni organ pemenangan, program yang ditawarkan, jaringan komunikasi, dan terakhir tren pemilih.
Keempat basis itu harus diefektifkan menjadi ragam taktik, strategi lapangan dalam waktu kampanye yang terbatas, dan sejumlah aturan main yang harus ditaati. Kampanye sejatinya merupakan bentuk komunikasi politik sebagai upaya memersuasi pemilih (voter), agar pada saat pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) pasangan kandidat yang berkampanye mendapatkan dukungan dari banyak pemilih.
Menarik untuk dikomparasikan basis kekuatan pada bakal calon Kepala Daerah atau bakal calon Anggota Legislatif yang akan berkontestasi di pemilihan umum 2024 nanti, penulis menganggap orang yang bisa menjadi refresentatif menjadi kekuatan tim untuk menjawab faktor utama dalam basis kekuatan tim pemenangan yaitu generasi Millenials. Sehingga basis kekuatan lain pemenangan seperti program, jaringan komunikasi dan tren pemilih mampu terfasilitasi untuk disukai dan diterima oleh khalayak. Maka dapat dikatakan wajib hukumnya generasi millenials ini mampu terkonsolidasi dengan baik.
untuk menjadi catatan bagi calon Kepala Daerah atau bakal calon Anggota Legislatif bahwa Karakter kuat generasi millenials sangat lekat dengan model pilihan bebas, jejaring, kecepatan, integritas, menikmati percakapan yang menyenangkan, dan menjadikan inovasi sebagai bagian kehidupan mereka. Dalam memilih pemimpin, generasi millenials kecenderungannya tak suka yang bergaya aristokrat dan elitis. Pola komunikasinya tidak menyukai model linear, tetapi timbal balik sehingga interaksi yang tak berbatas menjadi ciri dominannya. Program, jaringan komunikasi, dan membaca tren pemilih akan sangat menentukan kemenangan.